Senin, 27 Agustus 2012

Cerpen

 Cita-cita Rudi

oleh : Nilla Yusnilla



“jadi, kamu akan tetap melanjutkan kuliahmu di kota?” Tanya ibu sambil membantuku melipat pakaianku tanpa melirik ke arahku.
Nada suaranya terdengar sedih. Bagaimana tidak, aku akan meninggalkannya dan melanjutkan kuliah di salah satu universitas terbaik di kota, merupakan suatu kebanggaan tersendiri buatku bisa di terima kuliah di salah satu universitas terbaik menginggat banyak yang tidak lulus ujian penerimaan mahasiswa. Aku tinggal di desa kecil yang kebanyakan warganya memilih berhenti sekolah dan mengikuti jejak orang tua mereka sebagai petani. Pendidikan paling tinggi warga desa hanyalah SMP, itupun cuma ada beberapa orang saja. Menurut mereka, asal sudah pintar membaca, menulis dan berhitung sudah cukup. Sekolah tinggi juga hanya akan buang-buang waktu, uang dan tenaga saja karena yang paling penting sekarang uang. Pendidikan tinggi tanpa uang juga tidak ada gunanya. Aku salah satu orang yang tidak setuju dengan pendapat itu. Menurutku, pendidikan itu penting agar kita bisa mencetak generasi yang terdidik dan berkualitas yang bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Aku sendiri terlahir bukan dari keluarga yang berkecukupan, malah bisa dikatakan keluargaku hidup dalam kesederhaan. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku di gubuk yang berlantai tanah, atap dan dindingnya sudah banyak yang bolong. Ayah hanya seorang buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain yang penghasilannya cuma cukup buat makan saja. Ibu membantu perekonomian keluarga dengan membuat kue dan menitipkannya di warung-warung milik tetangga, kadang juga menjadi buruh cuci yang penghasilannya pun tidak seberapa. Aku sering merasa kasihan melihat ayah dan ibu. Mereka sudah tua dan sudah mulai sakit-sakitan. Semestinya sekarang mereka istirahat dan menikmati masa tua mereka, tapi, bagaimana kami akan makan kalau mereka tidak bekerja. Aku sebagai anak tunggal merasa bertanggung jawab penuh, biaya sekolah semasa SMA tidak aku bebankan ke mereka. Selama SMA aku bekerja apa saja, dari menjadi buruh bangunan, menjadi kuli di pasar sampai menjadi tukang ojek, walau tidak jarang aku jadi bahan ejekan teman-teman satu sekolah karena hal tersebut. Tapi, aku tidak pernah ambil pusing ejekan mereka. Biar saja mereka mengejekku semau mereka, ang terpenting aku bisa hidup mandiri dengan hasil keringatku sendiri tidak seperti mereka yang bisanya mengejek saja. Sampai akhirnya aku lulus SMA dengan nilai yang terbilang cukup karena aku harus benar-benar membagi waktu antara belajar dan bekerja.
Sekarang aku berencana melanjutkan kuliah di kota. Walau mungkin nanti saya akan serba kekurangan dan biaya hidup di kota yang sangat besar, mulai dari ngekos, uang makan, uang kuliah dan lain sebagainya. Tapi, niat untuk kuliah sudah bulat.
“Iya, bu. Saya diterima di salah satu universitas terbaik di kota.” Kataku sambil melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam ransel butut berwarna hitam, ransel kesayangan yang setia menemaniku melewati suka duka masa SMA.
“Tapi, ayah tidak punya biaya untuk kamu kuliah di kota, nak.” Kata ayah sambil terbatuk. “kamu tau sendirikan penghasilan ayah tidak seberapa hanya cukup untuk makan saja, itu juga kadang masih kurang. Sedangkan biaya kuliah di kota kan mahal.”
“ayah dan ibu tidak usah khawatir. Biaya kuliah Rudi, biar jadi tanggung jawab Rudi sendiri. Sesampai di kota Rudi akan kerja.” Kataku sambil memandang ayah dan ibu bergantian. Mencoba meyakinkan mereka.
“Tapi, nyari kerja di kota itu susah loh, Rud. Trus nanti kamu juga akan tinggal dimana, kita kan tidak punya keluarga yang tinggal di kota.” Ibu berkata sambil berjalan pelan ke arah meja makan dan mulai membuat adonan kue.
“ibumu benar, Nak. Pendidikan kuliah memang penting tapi kita juga harus sesuaikan dengan kemampuan kita sampai dimana. Untuk menjadi pintar itu tidak hanya bisa didapatkan di bangku sekolah atau kuliah. Kita bisa mendapatnya di luar sekolah atau kuliah.” Ayah kembali terbatuk. “gelar yang didapatkan saat kuliah itu tidak penting, yang terpenting itu adalah ilmu yang kita miliki, banyak orang di luar sana yang tidak kuliah tapi lebih berpendidikan dari orang yang kuliah.”
Aku menarik nafas panjang. Kutatap ayah dan ibu bergantian. Ayah sedang terbatuk-batuk dan ibu yang tengah mengaduk adonan kue lapisnya.
“ayah, ibu. Alhamdulillah waktu Rudi ikut tes masuk universitas kemarin, Rudi bertemu dengan teman Rudi. Kebetulan teman Rudi ini punya food centre dan meminta Rudi untuk menjadi salah satu karyawan di sana. Penghasilannya tiap bulan lumayan. Dan kalau untuk masalah tempat tinggal Rudi akan ngekos di salah satu kos dekat kampus, sewa perbulannya juga tidak terlalu besar. Jadi ayah dan ibu tidak usah khawatir, Rudi bisa jaga diri baik-baik kok.”
Ibu berhenti mengaduk adonan kuenya dan berjalan pelan ke arahku kemudian duduk di sampingku, membelai lembut rambutku dan berkata, “baiklah, jika itu memang keputusanmu ibu merestui. Silahkan kamu kuliah di kota dan kejar cita-citamu itu. Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ibu berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah juga merestui keputusanmu, nak. Ayah yakin apa yang menjadi keputusanmu adalah yang terbaik bagimu. Doa ayah dan ibu akan selalu menyertaimu.”
Aku terharu sekali mendengar perkataan ayah dan ibu. Mereka benar-benar bijaksana. Dalam hati aku berjanji untuk tidak akan pernah mengecewakan mereka.
“Terima kasih ayah, ibu. Rudi janji Rudi akan belajar bersungguh-sungguh. Jika nanti Rudi sudah lulus dan Rudi sudah bisa mengapai apa yang Rudi cita-citakan menjadi ketua MPR atau menjadi seorang Menteri, Rudi akan mengubah kehidupan kita menjadi lebih layak. Kita tidak usah lagi tinggal di gubuk ini, ayah dan ibu juga tidak usah repot-repot kerja lagi.” Kataku dengan semangat yang membara-bara. “semua keinginan ayah dan ibu akan Rudi penuhi, kita akan bahagia dan orang-orang akan menghormati kita.”
“Amin. Ayah dan ibu akan selalu mendoakan apa yang kamu cita-citakan bisa tercapai.” Kata ayah sambil tersenyum lebar.

Esok harinya,
Satu jam lagi bis jurusan kota akan datang menjemputku. Aku duduk di tepi tempat tidur di dalam kamarku yang sempit yang hanya berukuran tiga kali tiga meter. Kupandangi sekeliling kamarku. Didingnya sudah banyak yang bolong, cat putihnya sudah hampir berwarna coklat muda. Lemari kayu berwarna coklat yang sudah tua berdekatan dengan meja belajar yang dipenuhi buku-buku. Sebentar lagi aku akan meninggalkan semuanya. Aku memakai bajuku, kaos oblong berwarna hitam dan celana jeans yang sudah lusuh kemudian memakai sepatu kets biru. Kupandangi diriku di cermin, menawan seperti biasa. Kuambil ransel dan berjalan keluar kamar setelah sebelumnya memakai kameja lengan panjang biru kesayangku. Aku kini duduk di ruang tamu sambil memandang sekitar. Kursi tamu dari kayu yang warnanya sudah pudar, meja kecil di tengah dengan taplak meja berwarna hijau muda. Di sisi kanan ruang tamu ada meja makan yang sangat sederhana. Aku akan merindukan suasana rumahku.
Suara klakson bis membuyarkan lamunanku. Aku keluar sambil menenteng ranselku, tidak banyak yang aku bawa hanya beberapa pasang pakaian, kartu-kartu identitas diri dan uang seratus tujuh puluh lima ribu rupiah, tabungan ibu dari hasil jualan kue selama dua bulan.
“ayah, ibu. Rudi pamit. Jaga kesehatan dan jangan lupa doanya untuk Rudi.” Kataku dengan mata berkaca-kaca sambil mencium tangan ayah dan ibu bergantian.
“tentu, nak. Tentu saja ayah dan ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ibu menanggis haru sambil memelukku erat.
Ayah hanya diam, tidak berbicara sedikitpun tapi air mata ayah cukup untuk mewakili semuanya. Aku jadi tidak tega meninggalkan mereka. Tapi, ada hal yang harus saya lakukan, aku harus bisa mencapai semua impianku agar bisa membahagiakan mereka dan membuat mereka bangga. Aku berebalik sekali lagi sebelum naik ke bis. Hatiku benar-benar sedih harus meninggalkan mereka. Ayah dan ibu hanya melambaikan tangan dan linangan air mata yang mengantar kepergianku untuk menuntut ilmu. Perlahan-lahan bis berjalan, aku berbalik melihat mereka sampai akhirnya bis berbelok di ujung jalan dan mereka sudah tak terlihat. Aku menarik nafas panjang dan menguatkan diriku.
***

Sesampai di kota aku langsung mulai menata hidup. Sepulang kuliah langsung ke tempat kerja. Jarak antara tempat kos dan tempat kerjaku hanya sekitar tiga ratus meter, aku lebih memilih berjalan kaki untuk menghemat biaya. Setiap hari makan dengan menu yang sama, kalau buka mie instant yah telur. Sesekali makan diluar apalagi pas habis gajian. Aku benar-benar berhemat. Biaya hidup kutekan, tidak membeli hal yang tidak terlalu kuperlukan. Harus kejam pada diri sendiri kalau tidak aku akan kewelahan membiayai kuliah dan biaya hidup. Aku tidak mungkin minta pada orang tua di kampung.
Aku berencana pulang ke kampung halaman minggu ini. kuliah sedang cuti dan aku juga sudah dapat izin dari tempat kerja. Kubuka tabunganku, setelah kuhitung uang yang ada di tabunganku ada tiga juta enam ratus tujuh puluh ribu. Aku puas melihatnya, hasil kerja kerasku selama ini. dua juta akan aku beri ke ayah dan ibu kumasukkan ke dalam amplop berwarna putih kemudian di depan aku tulis ‘ini hasil kerja kerasku untuk ayah dan ibuku’, sejuta akan kupakai untuk biaya pulang dan membeli beberapa buah tangan untuk ayah dan ibu sedang enam ratus tujuh puluh ribu akan aku simpan dan akan aku gunakan nanti untuk biaya hidup sepulang dari kampung.
Aku menelpon ke kampung, ke rumah salah satu tentangga yang memiliki hp. Setelah tersambung aku minta tolong agar bisa bicara dengan ayah dan ibu.
“Halo, assalamu alaikum.” Suara lembut ibu terdergar
“waalaikum salam. Ibu dan ayah, apa kabar?”
“Alhamdulillah, kami baik-baik saja, nak. Kamu apa kabarnya, nak?”
“Alhamdulillah baik, bu. Aku menelpon untuk memberitahukan ibu kalau Insya Allah hari minggu nanti aku akan pulang. Aku kangen ayah dan ibu. Aku kangen sekali dengan masakan ibu.”
“ibu dan ayah juga kangen kamu, nak. Pulanglah cepat, ibu akan masakkan semua makanan kesukaan kamu.”
Rasa rinduku ke ibu sedikit terobati setelah mendengar suaranya di telpon.
Aku kemudian menelpon agen bis dan memesan tempat duduk untuk perjalanan pulangku nanti pada hari minggu, kemudian memberi alamatku. Agen bis mengatakan kalau bis akan berangkat jam delapan pagi.  Hari sabtu besok aku berencana ke pasar, membeli oleh-oleh untuk ayah dan ibu. Aku akan membelikan mukenah dan baju baru untuk ibu, mukenah yang ibu miliki sudah agak usang dan sudah dua idul fitri ini ibu selalu menggunakan mukenah yang sama. Sedang ayah akan aku beri baju kokoh dan jaket baru, ayah tidak memiliki jaket. Malam ini aku masih makan mie instant dan telur. Aku jadi kangen masakan ibu. ah, pengen cepat-cepat hari minggu rasanya.
Keesokan harinya aku berangkat ke pasar menggunakan angkot. Jarak pasar dari tempat kos lumayan jauh sekitar dua kiloan. Sesampai di pasar aku langsung ke sentra penjualan mukenah, membeli mukena untuk ibu kemudian mencarikannya baju, aku menemukan baju yang pas untuk ibu dengan harga yang murah. Lalu mencari baju kokoh dan jaket untuk ayah. Setelah semuanya dapat aku berkeliling mencari pakaian yang cocok untukku. Aku membeli dua stel baju dan celana. Setelah aku rasa cukup aku berjalan ke toko kado, membungkus oleh-oleh untuk ayah dan ibu, aku memilih pembungkus kado berwarna merah marun, warna favoritku lalu menulis di kertas di kartu ucapan ‘untuk ayah dan ibu tercinta’. Setelah beres, aku pulang ke kos.
Aku harap oleh-oleh ini bisa membuat mereka senang. Aku semakin tidak sabar menunggu esok.

ayah dan ibu sabar yah, sebentar lagi aku akan pulang. Aku sangat merindukan ayah dan ibu. aku rindu masakan ibu, aku rindu gubuk kita, aku rindu kasih sayang ayah dan ibu. aku rindu ayah dan ibu, aku rindu kalian…

***

Di desa yang tenang, di dalam sebuah gubuk kecil yang dindingnya sudah banyak yang berlubang. Sepasang suami isri tengah harap-harap cemas menanti kepulangan anak semata wayangnya. Di atas meja makan sudah tersedia masakan-masakan yang special ibu masak untuk menyambut kepulangan anaknya dengan harapan anaknya akan senang.
Pintu rumah yang terbuat dari tripleks diketuk. Wajah kedua orang tua itu langsung ceria, anaknya sudah datang. Mereka bergegas ke arah pintu dan membukannya.
Wajah mereka langsung berubah ketika pintu terbuka. Dua polisi berseragam lengkap kini berdiri di atas teras rumanya. Yang satunya tinggi dan berisi sedangkan yang satunya agak kurus. Ditangan polisi yang tinggi dan berisi itu ada dua bingkisan kado dan ransel.
“selamat pagi. Apa betul ini rumah Rudiansyah?” kata polisi yang kurus.
“iya benar. Kami orang tuanya. Ada apa yah, pak, apa ada sesuatu yang terjadi dengan anak kami ?”
“saudara Rudiansyah meninggal bersama dengan delapan korban lainnya dalam sebuah kecelakaan. Bis yang dia tumpangi remnya blong yang mengakibatkan bis itu terguling. Anak ibu dan bapak, Rudiansyah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Ini barang-barang saudara Rudiansyah yang kami temukan di TKP.” Kata polisi kurus itu lagi.
Wanita yang tak lain adalah ibu Rudi menanggis histeris. Ayahnya mengambil kado dan ransel yang di bawa polisi itu. Dia tak kuasa menahan tanggisnya begitu membaca kartu ucapan dan tulisan di amplop yang tertempel di atas kado tersebut.
***

Terima kasih ayah, ibu. Rudi janji Rudi akan belajar bersungguh-sungguh. Jika nanti Rudi sudah lulus dan Rudi sudah bisa mengapai apa yang Rudi cita-citakan menjadi ketua MPR atau menjadi seorang Menteri, Rudi akan mengubah kehidupan kita menjadi lebih layak. Kita tidak usah lagi tinggal di gubuk ini, ayah dan ibu juga tidak usah repot-repot kerja lagi.
semua keinginan ayah dan ibu akan Rudi penuhi, kita akan bahagia dan orang-orang akan menghormati kita.
Aku menelpon untuk memberitahukan ibu kalau Insya Allah hari minggu nanti aku akan pulang. Aku kangen ayah dan ibu. Aku kangen sekali dengan masakan ibu…

foto